Pengantar
Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Sartre sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan religius, karena dia dibaptis dan dibesarkan secara Katolik. Namun, karena kakeknya menertawakan segala sesuatu yang bersifat religius dan neneknya bersikap agnostis, akhirnya dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Ia tidak percaya lagi akan adanya Allah sejak usia dua belas tahun. Kesusastraan adalah agama baru bagi Sartre (Bertens 2014, 82-83). Sartre adalah pengarang novel, pengarang drama dan skenario film, kritikus sastra, filosof, dan pemikir politik (Bertens 2014, 89).
Jean-Paul Sartre adalah eksistensialis modern paling terkenal dan berpengaruh. Pemikiran dari karya-karyanya membuat ia terkenal di seluruh dunia. Dia kuliah di University of Sorbonne di mana ia pertama kali berkenal dengan filsafat. Sartre sangat dipengaruhi oleh filsafat fenomenolgi Edmund Husserl dan belajar di bawah bimbingannya di Jerman. Seperti eksistensialis lainnya, Sartre sangat tertarik pada "ada" dan "etika" daripada "logika" dan "epistemologi (Smith 2000, 85)." Penting juga untuk diketahui bahwa Sartre sangat dididik dalam filsafat tradisional. Filsafat rasionalis Descartes memiliki pengaruh besar terhadap Sartre bahkan dalam upayanya untuk merevisi dan menolak Cartesianisme. Sartre juga mempelajari karya filosof Belanda Baruch Spinoza, filosof rasionalis Jerman Immannuel Kant, dan Friedrich Heggel (Daigle 2010, 10). Pada waktu Perang Dunia II, Sartre menerbitkan karya besarnya yang berjudul "Ada dan Ketiadaan" (1943). Karyanya ini menjadikannya filosof ternama dan dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Selain itu, Sartre juga sukses dalam menerbitkan buku kecilnya yang berjudul "Eksistensialisme adalah Suatu Humanisme" (1946) yang memuat ceramahnya untuk menyingkatkan pemikirannya pada waktu itu dan membela eksistensialisme terhadap keberatan-keberatan dari pihak lain, antara lain oleh kaum komunis (Bertens 2014, 85-86).
Khusus dalam ulasan saya selanjutnya, terkhusus saya ingin mencermati pandangan Sartre tentang "eksistensi yang mendahului esensi", bahwa sesuatu akan dapat dimaknai jika dia eksis atau ada terlebih dahulu. Apakah melulu sesuatu harus ada terlebih dahulu baru bisa dimaknai atau didefinisikan? Bagaimana dengan orang yang memikirkan esensi terlebih dahulu dari sesuatu yang belum eksis, apakah sesuatu itu tidak bisa dimaknai? Dari pertanyaan-pertanyaan inilah saya ingin merekontruksi pemikiran Sartre yang menurut saya mengalami "kekeliruan."
Pemikiran Sartre tentang "Kesadaran"
Eksistensialisme Sartre bersandar pada pandangan teoritis tentang "kesadaran" yang penting sekali untuk dipahami. Subjektivitas manusia adalah poin awal dalam filsafat Sartre. Subjektivitas dipahami dalam cara yang berbeda dari pandangan rasionalis klasik seperti Descartes. Descartes menemukan kebenaran pertamanya melalui pengalaman cogito, yaitu "saya berpikir maka saya ada." Namun Sartre menggali lebih jauh ke bawah kedalaman subjektivitas, dan menemukan sebuah kesadaran multi-layered dan cogito hanyalah satu segi dari subjektivitas (Daigle 2010, 17).
Ada tiga sifat kesadaran manusia. Pertama, kesadaran yang bersifat spontan. Artinya, ia dihasilkan dari ego dan kesadaran lain. Ia menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran yang bersifat absolut. Artinya, kesadaran itu tidak menjadi objek bagi sesuatu yang lain. Ketiga kesadaran yang bersifat transparan. Artinya, kesadaran yang mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri merupakan eksistensi manusia yang membedakannya dengan eksistensi benda-benda. Manusia sesungguhnya mempunyai kemampuan untuk menyadari dirinya. Dunia benda-benda inilah yang membantu dalam pencapaian kesadaran diri manusia. Tanpa adanya benda-benda (en-soi), maka kesadaran diri manusia tidak akan tercapai. Selain itu, Sartre juga membedakan kesadaran manusia dalam kesadaran pra-reflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran pra-reflektif merupakan kesadaran yang langsung terarah pada objek tanpa usaha untuk merefleksikannya. Misalnya, ketika seorang membaca buku, kesadarannya tidak terarah pada perbuatannya yang sedang membaca, melainkan pada isi buku tersebut. Sedangkan, kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak disadari menjadi disadari. Misalnya, kesadarannya tidak lagi terarah pada isi buku tersebut, namun pada perbuatannya ketika seorang itu membaca buku (Kompasiana website 2013). Kesadaran reflektif ini membuat manusia tidak laruh pada objek, namun menyadari mengapa ia menanggapi suatu objek dan mengabaikan yang lain.
Menurut Sartre, pada prinsipnya setiap tindakan adalah disengaja (intentionally). Karena itu, tindakan yang benar adalalah bertindak dengan kesadaran. Jadi, jika seseorang membuang rokok yang masih menyala ke tempat yang dapat memicu kebakaran, yang selanjutnya akan menghasilkan kebakaran besar, sebenarnya dia tidak bertindak karena dia membuang rokok tersebut dengan tidak sadar dan tidak disengaja. Di sisi lain, jika seorang pekerja telah melakukan tugasnya untuk mengikuti langkah-langkah yang diperlukan untuk meledakkan muatan dinamit, berarti dia telah bertindak karena ada unsur kesengajaan (Natanson 1973, 48).
Pandangan Sartre jelas menghadirkan revisi akan pandangan rasionalistik Cartesian dari subjek sebagai sebuah cogito. Pandangan Sartre juga menghadirkan pembalikan dari pandangan Husserl, sejauh ego adalah objek di dunia dan bukan kesatuan persepsi saya dari dunia. Dalam karyanya yang berjudul The Transendence of the Ego, dia menjelaskan bahwa "Aku", ego, subjek Cartesian "Aku berpikir", sungguh-sungguh sebuah hasil tambahan dari keterlibatan kesadaran di dunia. "Aku" menjadi objek kesadaran, sama seperti objek lain di dunia. Itu bukanlah inti dari manusia. Itu adalah objek di dunia, sama seperti objek lainnya, hanya lebih intim. Kesadaran lebih fundamen, dan terletak pada pusat dunia. Kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu. Karena itu, Sartre menawarkan bahwa kita harus mengganti formula Descartes "Aku berpikir, maka Aku ada" dengan "Ada kesadaran, maka Aku ada." Dalam formula Descartes, kata "maka" tampak tak berguna, karena untuk menegaskan pemikiran seseorang yang dimaksudkan adalah menegaskan eksistensi seseorang. "Aku berpikir" diterjemahkan menjadi "Aku ada." Namun, dalam formula Sartre, kata "maka" secara literal menyatakan bagaimana ego muncul: kesadaran itu pertama dan absolut, kemudian "Aku" muncul sesudahnya. Ini karena ada kesadaran seperti sadar bahwa "Aku" dapat eksis atau ada (Daigle 2010, 30).
Kebebasan: Eksistensi Mendahului Esensi
Frasa "existence precedes essence" atau "eksistensi mendahului esensi" yang diusung oleh Sartre ini seringkali digunakan untuk mendefinisikan eksistensialisme dan juga oleh Sartre sendiri (Daigle 2010, 51). Dalam bukunya yang berjudul Existentialism Is a Humanism, Sartre mengatakan demikian:
What do we mean here by "existence precedes essence"? We mean that man first exist: he materializes in the world, encounters himself, and only afterward defines himself (Sartre 2007, 23).
Jadi, yang Sartre maksudkan adalah manusia pertama-tama berada, bertemu dengan dirinya sendiri, muncul di dunia, dan kemudian mendefinisikan diri. Namun, untuk memahami pandangannya tentang "eksistensi mendahului esensi" maka kita harus beranjak dari pemikirannya tentang "kebebasan." Bagi Sartre, kesadaran yang "menidak" adalah sama dengan kebebasan (Bertens 2014, 96). Kebebasan bukanlah salah satu ciri yang menandai manusia, melainkan manusialah kebebasan. Menurut Sartre, manusia adalah satu-satunya makhluk di mana eksistensinya mendahului esensi. Akan tetapi, jika pada taraf bawah-manusiawi, maka esensi mendahului eksistensi. Misalnya, meja yang dibuat oleh tukang untuk suatu tujuan tertentu. Tukang yang membuat meja sebelumnya sudah tahu tentang apa yang akan ia buat (tentang esensinya). Namun, berbeda jika kita ingin menentukan esensi manusia. Lagi-lagi manusia adalah kebebasan atau kesadaran yang "menidak." Esensi manusia tidak pernah dapat ditentukan, karena manusia selalu memiliki kemungkinan untuk mengatakan "tidak." Contohnya, seseorang yang dikatakan oleh banyak orang adalah seorang pencuri dan homoseks (esensinya). Akan tetapi selama ia masih hidup, maka selalu ia dapat mengatakan "tidak" atau "ya sampai sekarang, tetapi tidak lagi." Barulah setelah ia mati dapat dilukiskan ciri-ciri hakiki (esensi) yang menandai hidupnya (Bertens 2014, 96). Contoh lain, misalnya, seseorang yang menyatakan bahwa esensi dari keberadaanya adalah untuk menjadi profesor filsafat yang menulis banyak buku. Namun, karena ia masih hidup, secara radikal ia mengubah orientasinya dan menjadi seorang tukang roti. Karena itulah, hanya setelah ia mati baru kita dapat menyimpulkan perbuatannya dan mengatakan apa esensinya. Hanya jika suatu kehidupan berakhir, atau seseorang berhenti untuk ada, maka seseorang dapat didefinisikan dan definisi ini menjadi benar selamanya (Daigle 2010, 51).
Hal ini sama dengan pandangan secara tradisional tentang Allah sebagai Pencipta. Allah menciptakan kita dan oleh karenanya kita tahu seperti apakah kita dan untuk apakah kita (esensi). Karena Allah ada, kodrat manusia ada dan maknanya telah dituliskan. Dalam hal ini esensi yang mendahului eksistensi. Namun berbeda situasinya jika Allah tidak ada (seperti keyakinan Sartre), maka orang harus mencari dirinya di dalam situasi di mana mereka berada walau dia belum tahu seperti apakah dirinya dan untuk apakah dirinya. Ini berarti bahwa ketika orang melihat dirinya sendiri, ia mengalami "ketiadaan", namun harus mengisi ketiadaan ini dengan sesuatu. Maka, manusia bebas secara absolut untuk memilih dengan cara tertentu. Manusia bebas menentukan nasibnya sendiri (Smith 2000, 86). Sartre berpendapat bahwa dimensi religius tidak perlu dipilih sebagai sikap hidup, karena sikap demikian merupakan tanda sikap yang tidak jujur. Baginya, manusia harusnya bertanggung jawab atas kebebasannya sendiri. Bertanggung jawab atas dirinya sendiri berarti bahwa ia sendirilah yang membentuk dirinya. Keyakinan manusia akan adanya Tuhan telah merampas kebebasan manusia oleh karena itu menurut Sartre harus ditiadakan.
Sartre menggambarkan dua cara berada: being in-itself (en-soi) dan being for-itself (pour-soi). Being in-itself adalah sebuah kepenuhan dari berada, sementara being for-itself adalah berada yang sadar akan dirinya, yaitu kesadaran manusia atau ketiadaan yang bertemu keberadaan. For-itself terbukti menjadi keberadaan yang kontingen dan factical. Manusia sebenarnya mengalami keterlemparan ke dalam dunia. Tidak ada alasan bagi individu-individu untuk eksis, juga tidak ada penjelasan untuk eksistensi dunia. Mereka hanya ada. Manusia yang kontingen didefinisikan sebagai sebuah kebebasan, terkondisikan, dan diwujudkan kesadaran. Karena for-itself adalah bebas, itu adalah sebuah keberadaan yang transenden yang dapat melampaui faktisitasnya (keadaannya). Ontologi Sartre meniadakan bentuk tradisional transendensi. Tidak ada ruang bagi alam transenden atau Allah dalam filsafat Sartre (Daigle 2010, 43).
Maka bisa dikatakan bahwa esensi dari seseorang bergantung pada kebebasannya (Macann 1993, 119). Kebebasan itu bisa dilihat dalam kecemasan. Kecemasan itu menyangkut diri sendiri dengan menyatakan eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya. Sartre memberi contoh seperti orang yang cemas ketika menghadap tepi jurang yang tinggi dan terjal. Pilihan ada pada orang itu, terjun ke dalam atau dengan hati-hati melangkah mundur ke tempat yang aman. Tidak ada yang memaksanya untuk terjun ke dalam dan tidak ada yang menghalanginya untuk terjun ke dalam jurang. Dengan demikian, kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya. Kecemasannya menyatakan kebebasannya. Mengapa kecemasan itu bisa timbul? Menurut Sartre, karena individu menyadari bahwa tingkah laku seluruhnya bergantung pada dirinya dan ia sendirilah satu-satunya sumber segala nilai dan makna (Bertens 2014, 96-97). Maka bisa disimpulkan bahwa eksistensialisme yang diusung oleh Sartre sangatlah antroposentris. Seluruhnya berpusat pada manusia.
Menurut Sartre, kita bisa melarikan diri dari kebebasan kita dan menyembunyikan kecemasan kita. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya dan serentak menyangkal kebebasannya. Sikap tidak "otentik" ini oleh Sartre disebut bad faith atau malafide. Dalam sikap malafide ini membuat manusia mengakui sekaligus menyangkal apa yang dihayatinya. Dengan kata lain, manusia menipu dirinya (tidak otentik). Hal ini terjadi misalnya ketika orang berkata: "sifat saya begitu, apa boleh buat (Bertens 2014, 98)."
Kritik
1. Mencermati pemikiran Sartre tentang eksistensi yang mendahului esensi, justru mendorong saya untuk melawannya dengan doktrin Kristen. Seperti yang kita ketahui bahwa bagi Sartre esensi tidak dapat ditentukan selagi dia masih hidup, karena manusia adalah kebebasan atau kesadaran yang "menidak." Menurut saya, klaim ini tidak logis secara umum, karena klaim ini hanya berlaku pada seorang yang tidak percaya pada predisitinasi oleh Allah. Akan tetapi, jika orang yang percaya pada doktrin predisitinasi oleh Allah, maka akan mengatakan bahwa Allah telah menjadikan manusia seturut dan segambar dengan rupa Allah dan supaya mereka berkuasa atas seluruh bumi (esensinya) sebelum manusia itu sendiri eksis di bumi (lih. Kej. 1:26). Dengan kata lain, Allah telah menetapkan nasib dari manusia sebelum manusia eksis. Dalam hal ini, manusia pun adalah esensi sebelum eksistensi. Lagi-lagi tergantung perspektif siapa?
2. Esensi apakah yang dimaksud oleh Sartre? Apakah esensi yang dimaksudkan hanya sekedar profesi seperti yang dicontohkan ataukah esensi yang terdapat dalam karakter manusia itu sendiri? Lalu, apakah esensi itu banyak dan tidak hanya satu? Karena bisa saja manusia itu adalah dokter, baik, jujur, dan murah hati. Sartre menggambarkan bahwa esensi itu adalah ciri-ciri yang ada pada diri manusia, sehingga esensi dari manusia bisa menjadi banyak. Kemudian, jika esensi hanya bisa ditentukan ketika manusia itu sudah mati atau keberadaannya sudah berhenti, lalu berapa banyak orang yang bisa memberikan esensi terhadapnya? Jika orang mempunyai 1001 esensi terhadap manusia yang ingin ditentukan esensinya, lalu esensi mana yang benar? Menurut saya, esensi yang dimaksudkan oleh Sartre masihlah abstrak dan perlu dijelaskan dengan detil.
3. Menurut Sartre, "ketiadaan" meniadakan esensinya, sehingga ketiadaan Allah pun meniadakan esensi-Nya. Dengan kata lain, jika tidak eksis maka kita tidak bisa menentukan esensinya. Karena itu, yang transenden adalah yang eksis dan sadar akan dirinya, yaitu manusia. Namun, menurut saya yang transenden adalah yang tidak eksis namun kita sadari keadaanya. Menurut hemat saya, bukanlah hal yang transenden jika sesuatu itu bisa dilihat, namun jika sesuatu itu tidak bisa dilihat barulah dia bisa dikatakan transenden. Bukankah jika transenden bisa dilihat, berarti yang transenden itu menjadi banyak dan tidak ada yang paling transenden? Karena itu, esensi sesuatu bisa ditentukan jika ada eksistensi dari sesuatu itu. Satu-satunya cara adalah memberi ruang untuk percaya, bahwa "dapat disadari, bahwa ada, yang tidak dapat dilihat, yaitu Allah (Hamersma 2014, 51)."
Daftar Acuan
Bertens, K. 2014. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Daigle, Christine. 2010. Jean-Paul Sartre. London dan New York: Routledge.
Hamersma, Harry. 2014. Persoalan Ketuhanan: Dalam Wacana Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Kompasiana. Konflik Eksistensi Manusia J.P. Sartre. http://filsafat.kompasiana.com/2013/12/18/konflik-eksistensi-manusia-jp-sartre-617488.html (diakses 13 Desember 2014).
Macann, Christopher. 1993. Four Phenomenological Philosopers: Husserl, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty. London dan New York: Routledge.
Sartre, Jean-Paul. 2007. Existentialism Is a Humanism (terj.). New Haven dan London: Yale University Press.
Smith, Linda dan William Raeper. 2000. Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius.
Natanson, Maurice. 1973. A Critique of Jean-Paul Sartre's Ontology. Netherland: Martinus Nijhoff.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar